Minggu, 10 September 2017

APA ITU BID'AH

KUPASAN RINGKAS TENTANG:
"KULLU BID'ATIN DLOLALAH"
=========
1. Dari aspek arti hadits
---------------------
وَكُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ ، وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ
ARTINYA: ""Dan semua perkara yang baru adalah bid'ah dan seluruh bid'ah adalah kesesatan dan seluruh kesesatan di neraka" (HR An-Nasaai)
.
2. Dari aspek makna hadits
---------------------
Makna dari hadits tersebut menjelaskan bahwa : Seluruh Bid'ah yang sesat tanpa terkecuali semuanya tempatnya di neraka.
.
3. Dari aspek kandungan makna hadits
-----------------------
a. Hadits tersebut sebenarnya merupakan kalimat akhir dari hadits yg cukup panjang .
b. Hadits tersebut merupakan hadits Riwayat dari Imam An-Nasaa-i , yg mana pada hadits hadits yg diriwayatkan oleh perawi hadits lain tdk dicantumkan kalimat sebagaimana yg diriwayatkan oleh Imam An-Nasaa-i
c. Berikut ini teks hadits yg selengkapnya:
.
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- إِذَا خَطَبَ احْمَرَّتْ عَيْنَاهُ وَعَلاَ صَوْتُهُ وَاشْتَدَّ غَضَبُهُ حَتَّى كَأَنَّهُ مُنْذِرُ جَيْشٍ يَقُولُ « صَبَّحَكُمْ وَمَسَّاكُمْ ». وَيَقُولُ « بُعِثْتُ أَنَا وَالسَّاعَةَ كَهَاتَيْنِ ». وَيَقْرُنُ بَيْنَ إِصْبَعَيْهِ السَّبَّابَةِ وَالْوُسْطَى وَيَقُولُ « أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
.
Dari Jabir bin Abdillah berkata :
Jika Rasulullah berkhutbah maka merahlah kedua mata beliau dan suara beliau tinggi serta keras kemarahan (emosi) beliau, seakan-akan beliau sedang memperingatkan pasukan perang seraya berkata "Waspadalah terhadap musuh yang akan menyerang kalian di pagi hari, waspadalah kalian terhadap musuh yang akan menyerang kalian di sore hari !!". Beliau berkata, "Aku telah diutus dan antara aku dan hari kiamat seperti dua jari jemari ini –Nabi menggandengkan antara dua jari beliau yaitu jari telunjuk dan jari tengah-, dan beliau berkata : "Kemudian daripada itu, sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Al-Qur'an dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad, dan seburuk-buruk perkara adalah perkara-perkara yang baru dan semua bid'ah adalah kesesatan"
.
Dalam riwayat An-Nasaa-i ada tambahan kalimat :
وَكُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ ، وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ
"Dan semua perkara yang baru adalah bid'ah dan seluruh bid'ah adalah kesesatan dan seluruh kesesatan di neraka"
.
KESIMPULANNYA :
a. Yg dimaksudkan sebagai KULLU BID'ATIN DLOLALAH dalam hadits riwayat Imam An-Nasaa-i tersebut adalah : Segala hal baru yang diada-adakan yg dalam pengadaannya telah menyelisihi (keluar) dari Al-Qur'an dan Hadits.
b. Seluruh hal baru yang diada-adakan yg dalam pengadaannya TIDAK menyelisihi (tidak keluar) dari Al-Qur'an dan Hadits maka tdk termasuk kedalam yg dlolalah atau yg sesat .
.
KESIMPULAN AKHIR :
1. Yg dimaksudkan oleh Rosululloh Saw sbg BID'AH DLOLALAH dan tempatnya di neraka sebagaimana yg diriwayatkan oleh Imam An-Nasaa-i tersebut HANYALAH Segala hal baru yang diada-adakan yg dalam pengadaannya telah menyelisihi (keluar) dari Al-Qur'an dan Hadits.
.
2. Seluruh hal baru yang diada-adakan yg dalam pengadaannya TIDAK menyelisihi (tidak keluar) dari Al-Qur'an dan Hadits, maka disebut sbg BID'AH HASANAH atau BID'AH MAHMUUDAH, sebagaimana yg telah dijelaskan oleh Imam As-Syafi sbg berikut:
.
الْمُحْدَثَاتُ مِنَ اْلأُمُوْرِ ضَرْبَانِ :
أَحَدُهُمَا : مَا أُحْدِثَ ِممَّا يُخَالـِفُ كِتَابًا أَوْ سُنَّةً أَوْ أَثرًا أَوْ إِجْمَاعًا، فهَذِهِ اْلبِدْعَةُ الضَّلاَلـَةُ،
وَالثَّانِيَةُ : مَا أُحْدِثَ مِنَ الْخَيْرِ لاَ خِلاَفَ فِيْهِ لِوَاحِدٍ مِنْ هذا ، وَهَذِهِ مُحْدَثَةٌ غَيْرُ مَذْمُوْمَةٍ
.
Perkara-perkara baru itu terbagi menjadi dua macam :
Pertama: Perkara baru yang menyalahi al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ atau menyalahi Atsar, perkara baru semacam ini adalah bid’ah yang sesat (Bid’ah Dholalah).
Kedua: Perkara baru yang baru yang baik dan tidak menyalahi satu pun dari al-Qur’an, Sunnah, maupun Ijma’, maka perkara baru seperti ini tidak tercela (Bid’ah Hasanah).
(Diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqi dengan sanad yang Shahih dalam kitab Manaqib asy-Syafi’i –Jilid 1- Halaman 469)..
.
Semoga ada manfaatnya

Selasa, 22 Agustus 2017

"Tabarruk" (Mencari Berkah) Itu Bukan Barang Baru, Jangan Sembarangan Mengklaim Syirik!!

Pengertian Tabarruk

Tabarruk berasal dari kata al-Barakah. Arti al-Barakah adalah tambahan dan perkembangan dalam kebaikan (az-Ziyadah Wa an-Nama’ Fi al-Khair). Barakah (kebaikan) dalam harta adalah ketika bertambah banyak dan digunakan dalam ketaatan kepada Allah. Barakah dalam keluarga adalah ketika anggotanya berjumlah banyak dan berakhlak mulia. Barakah dalam waktu adalah lamanya masa dan terselesaikan semua urusan dalam masa yang ada. Barakah dalam kesehatan adalah kesempurnaan dalam kesehatan itu sendiri. Barakah dalam umur adalah panjang usia dan banyak beramal baik dalam rentang usia yang panjang tersebut. Barakah dalam ilmu adalah ketika ilmu itu semakin bertambah banyak dan diamalkan serta bermanfaat untuk orang banyak. Dengan demikian barakah itu adalah laksana pundi-pundi kebaikan (Jawami’ al-Khair) dan berlimpahnya nikmat yang diperoleh dari Allah.
Dari penjelasan ini dipahami bahwa makna Tabarruk adalah: “Thalab Ziyadah al-Khair Min Allah”. Artinya, meminta tambahan kebaikan dari Allah.

Di antara sekian banyak hal yang Allah jadikan sebab bagi seseorang untuk memperoleh barakah dari-Nya adalah bertabarruk dengan para Nabi, para wali, dan dengan para ulama yang mengamalkan ilmu-ilmunya (al-‘Ulama al-Amilin), serta dengan orang-orang saleh. Allah berfirman mengenai ucapan nabi Yusuf:

اذْهَبُوا بِقَمِيصِي هَذَا فَأَلْقُوهُ عَلَى وَجْهِ أَبِي يَأْتِ بَصِيرًا (يوسف: 93)

“Pergilah kalian dengan membawa gamisku ini, lalu letakkanlah ke wajah ayahku, maka ia akan dapat melihat kembali”. (QS. Yusuf: 93)

Dalam ayat ini terdapat penjelasan bahwa Nabi Ya'qub bertabarruk dengan gamis Nabi yusuf. Nabi Ya’qub mencium dan menyentuhkan gamis tersebut ke matanya, sehingga beliau bisa melihat kembali.


Dalil-Dalil Tabarruk

Para sahabat Rasulullah telah mempraktekkan tabarruk (mencari berkah) dengan peninggalan-peninggalan Rasulullah, baik di masa hidup Rasulullah maupun setelah beliau meninggal. Dari semenjak itu semua ummat Islam hingga kini masih tetap melakukan tradisi baik yang merupakan ajaran syari’at ini. Kebolehan perkara ini diketahui dari dalil-dalil yang sangat banyak, di antaranya sebagai berikut:

1. Perbuatan Rasulullah yang telah membagi-bagikan potongan rambut dan potongan kuku-kukunya.

A. Rasulullah membagi-bagikan rambutnya, ketika beliau bercukur di saat haji Wada’, haji terakhir yang beliau lakukan. Beliau juga membagi-bagikan potongan kukunya.
Pembagian rambut ini diriwayatkan oleh al-Imam al-Bukhari dan al-Imam Muslim dari hadits sahabat Anas ibn Malik. Dalam lafazh riwayat Imam Muslim, Anas berkata:

لمَاّ رَمَى صَلّى اللهُ عَليْه وَسَلّمَ الجمرَةَ وَنَحَرَ نُسُكَهُ وَحَلَقَ نَاوَلَ الحَالِقَ شِقَّهُ الأيْمَنَ فَحَلَقَ، ثمَّ دعَا أبَا طَلْحَةَ الأنْصَارِيَّ فأعْطاهُ ثمّ نَاوَلَهُ الشِّقَ الأيْسَرَ فقَال "احْلِق"، فحَلَق، فأعْطَاهُ أبَا طَلحَةَ فقَال: اقْسِمْهُ بَيْنَ النّاس. وَفِي روَاية: فَبَدَأ بالشِّق الأيْمَنِ فَوَزَّعهُ الشّعْرَةَ وَالشّعْرَتَين بَيْنَ النّاس ثمّ قاَل: بالأيْسَر، فَصَنَعَ مثلَ ذَلكَ ثمّ قَال: ههُنَا أبُو طَلحَة، فَدَفَعهُ إلَى أبيْ طَلحَة. وَفي روَاية أنّه عَليهِ الصّلاَةُ وَالسّلامُ قَالَ للحَلاّق: هَا، وأشَارَ بيَدهِ إلَى الجَانِب الأيْمَن فَقَسَمَ شَعْرَهُ بَيْنَ مَنْ يَليْهِ، ثمّ أشَارَ إلَى الحَلاّق إلَى الجَانِبِ الأيْسَر فَحَلقَهُ فَأعْطَاهُ أمَّ سُلَيم (رَواهُ مُسْلم)

“Setelah selesai melempar Jumrah dan memotong kurbannya, Rasulullah kemudian bercukur. Beliau mengulurkan bagian kanan rambutnya kepada tukang cukur untuk memotongnya. Kemudian Rasulullah memanggil Abu Thalhah al-Anshari dan memberikan kepadanya potongan rambut tersebut. Lalu Rasulullah mengulurkan bagian kiri rambutnya kepada tukang cukur tersebut, sambil berkata: “Potonglah..!”. Lalu potongan rambut tersebut diberikan kembali kepada Abu Thalhah, seraya berkata: “Bagikanlah di antara manusia”.

Dalam riwayat lain, -disebutkan-: “Maka mulai -dipotong rambut- dari bagian kanan kepala Rasulullah dan beliau membagikan sehelai, dua helai rambut di antara manusia. Kemudian dari bagian kiri, juga dibagi-bagikan. Rasulullah berkata kepada Abu Thalhah: “Abu Thalhah kemarilah...!”, kemudian Rasulullah memberikan Potongan rambutnya kepadanya.

Dalam riwayat, -sebagai berikut-: “Rasulullah berkata kepada tukang cukur: “(Cukurlah) Bagian sini...!”, sambil beliau memberi isyarat ke bagian kanannya. Kemudian Rasulullah membagikannya kepada orang-orang yang berada di dekatnya. Lalu memberi isyarat kembali kepada tukang cukur ke bagian kirinya, setelah dicukur kemudian potongannya diberikan kepada Umu Sulaim”. (HR. Muslim)

Dalam hadits-hadits ini kita melihat bahwa Rasulullah sendiri yang membagi-bagikan sebagian rambutnya di antara orang-orang yang ada di dekatnya, sebagian lainnya diberikan kepada Abu Thalhah untuk dibagikan kepada semua orang, dan sebagian lainnya beliau berikan kepada Ummu Sulaim.

B. Rasulullah membagikan potongan kuku-kukunya. Diriwayatkan oleh al-Imam Ahmad ibn Hanbal dalam Musnad-nya bahwa Rasulullah memotong kuku-kukunya dan membagi-bagikannya di antara manusia.

Faedah Hadits:

Dalam hadits-hadits di atas terdapat penjelasan dan dalil-dalil kuat tentang tabarruk dengan peninggalan-peninggalan Rasulullah. Rasulullah sendiri yang membagi-bagikan potongan rambutnya di antara para sahabatnya, agar mereka bertabarruk dengannya. Juga agar mereka menjadikannya sebagai wasilah dalam berdoa kepada Allah, serta menjadikan rambut-rambut yang mulia tersebut sebagai jalan untuk bertaqarrub kepada-Nya. Rasulullah membagi-bagikan rambut-rambutnya agar menjadi berkah yang terus menerus ada dan sebagai kenangan bagi para sahabatnya, juga bagi orang-orang yang datang sesudah mereka. Dari sinilah kemudian orang-orang yang dimuliakan Allah dalam kehidupan mereka mengikuti apa yang dilakukan para sahabat dalam mencari berkah dengan peninggalan-peninggalan Rasulullah. Dimana hal ini kemudian menjadi tradisi yang diwarisi kaum Khalaf dari kaum Salaf. Sudah barang tentu Rasulullah membagi-bagikan potongan rambut dan potongan kuku-nya bukan untuk dimakan oleh para sahabat tersebut, melainkan agar mereka bertabarruk dengan rambut dan potongan kuku tersebut.

2. Para sahabat juga bertabarruk dengan jubah Rasulullah, sebagaimana diriwayatkan oleh al-Imam Muslim dalam kitab Shahih-nya. Sebagai berikut:

عَنْ مَوْلَى أسْمَاءَ بِنْتِ أبِي بَكْر، قَالَ: أخْرَجَتْ إليْنَا جُبّةً طَيَالِسَةً كَسْرَوَانِيّةً لَهَا لَبِنَةُ دِيْبَاجٍ وَفَرْجَاهَا مَكْفُوْفَانِ، وَقَالَتْ: هذِهِ جُبّةُ رَسُوْلِ اللهِ صَلّى اللهُ عَليْهِ وَسَلّمَ كَانَتْ عِنْدَ عَائِشَةَ، فَلَمَّا قُبِضَتْ قَبَضْتُهَا، وَكَانَ النّبيّ صَلّى اللهُ عَليهِ وَسَلّمَ يَلبِسُهَا فَنَحْنُ نَغْسِلُهَا لِلْمَرْضَى نَسْتَشْفِيْ بِهَا، وَفي روَاية: نَغْسِلُهَا للمَرِيْضِ مِنَّا (رَواه مُسْلم)

“Dari hamba sahaya Asma’ binti Abi Bakar ash-Shiddiq, bahwa ia berkata: “Asma’ binti Abi Bakar mengeluarkan jubah --dengan motif-- thayalisi dan kasrawani (semacam jubah kaisar) berkerah sutera yang kedua lobangnya tertutup. Asma’ berkata: “Ini adalah jubah Rasulullah. Semula ia berada di tangan ‘Aisyah. Ketika ‘Aisyah wafat maka aku mengambilnya. Dahulu jubah ini dipakai Rasulullah, oleh karenanya kita mencucinya agar diambil berkahnya sebagai obat bagi orang-orang yang sakit”. Dalam riwayat lain: “Kita mencuci (mencelupkan)-nya di air dan air tersebut menjadi obat bagi orang yang sakit di antara kita”.

3. Para sahabat Rasulullah dan kaum Tabi'in melakukan tabarruk dengan bekas tempat telapak tangan Rasulullah. Dalam sebuah hadits diriwayatkan sebagai berikut:

عَنْ حَنْظَلَةَ بْنِ حَذْيَمٍ قَالَ: وَفَدْتُ مَعَ جَدّيْ حَذْيَمٍ إلَى رَسُولِ اللهِ صَلّى اللهُ عَليهِ وَسَلّمَ، فَقَال: يَا رَسُولَ اللهِ إنّ لِيْ بَنِيْنَ ذَوِيْ لِحًى وَغَيْرَهُمْ وَهَذَا أصْغَرُهُمْ، فَأدْنَانِي رَسُولُ الله صَلّى اللهُ عَليهِ وَسَلّمَ وَمَسَحَ رَأسِي، وَقَال: بَارَك اللهُ فِيْكَ، قَالَ الذّيالُ: فَلَقَدْ رَأيْتُ حَنْظَلَةَ يُؤْتَى بالرّجُلِ الوَارِمِ وَجْهُهُ أوِ الشّاةِ الوَارِمِ ضَرْعُهَا، فَيَقُوْلُ: بسْمِ اللهِ عَلَى مَوْضِعِ كَفّ رَسُوْلِ اللهِ صَلّى اللهُ عَليْهِ وَسَلّمَ فَيَمْسَحُهُ فُيَذْهَبُ الوَرمُ (روَاه الطّبَرانيّ في الأوْسَط وَالكَبيْر بنَحْوِه، وأحمَدُ فِي حَديثٍ طَوِيْلٍ وَرِجَالُ أحْمَدَ ثِقَاتٌ)

“Dari sahabat Hanzhalah ibn Hadzyam, bahwa ia berkata: “Aku mengikuti rombongan bersama kakekku; Hadzyam menuju Rasulullah. Kakekku berkata kepada Rasulullah: “Wahai Rasulallah, aku memiliki beberapa anak laki-laki yang sudah besar dan ini yang paling kecil di antara mereka". Kemudian Rasulullah mendekatkan diriku ke dekatnya, lalu ia mengusap kepalaku seraya berkata: “Barakallah Fik” (Semoga Allah memberikan berkah kepadamu).

Adz-Dzayyal berkata: “Aku melihat Hanzhalah didatangi orang yang bengkak wajahnya atau orang yang membawa kambing yang bengkak susunya, kemudian Hanzhalah mengucapkan:

بِسْمِ اللهِ عَلَى مَوْضِعِ كَفِّ رَسُوْلِ اللهِ

“Dengan nama Allah atas tempat usapan telapak tangan Rasulullah”, kemudian ia mengusap orang tersebut hingga hilanglah bengkaknya. (Diriwayatkan al-Imam ath-Thabarani dalam al-Mu’jam al-Ausath dan al-Mu’jam al-Kabir, juga diriwayatkan oleh al-Imam Ahmad dalam hadits yang panjang yang semua para perawinya tsiqat (terpercaya).

4. Para Tabi’in melakukan tabarruk dengan kemuliaan mata sahabat Rasulullah yang pernah melihat Rasulullah, dan bertabarruk dengan tangan yang telah menyentuh Rasulullah di masa hidupnya. Perlakuan kaum Tabi’in ini sedikitpun tidak diingkari oleh para sahabat Nabi, sebaliknya mereka menyetujui perlakuan tersebut. Dalam sebuah hadits diriwayatkan sebagai berikut:

عَنْ ثَابِتٍ قَالَ: كُنْتُ إذَا أَتَيْتُ أنَسًا يُخْبرُ بِمَكَانِي فَأدْخُلُ عَلَيْهِ فَآخُذُ بيَدَيْهِ فَأُقَبِّلُهُمَا وَأقُوْلُ: بَأبِي هَاتَانِ اليَداَنِ اللَّتاَنِ مَسّتَا رَسُوْلَ اللهِ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ، وَأُقَبّلُ عَيْنَيْهِ وَأقُوْلُ: بِأبِي هَاتَانِ العَيْنَانِ اللّتَانِ رَأتَا رَسُوْلَ اللهِ صَلّى اللهُ عَليْه وَسَلّمَ (رَوَاهُ أبُو يَعْلَى وَرِجَالهُ رجَالُ الصّحِيْحِ غَيْرُ عَبْدِ اللهِ بنِ أبِي بَكْر المَقْدميّ وَهُوَ ثِقَةٌ)

“Dari Tsabit al-Bunani -Salah seorang dari Tabi'in ternama, murid Anas ibn Malik- berkata: “Apabila aku mendatangi Anas ibn Malik, ia (Anas) --selalu-- diberitahu tentang kedatanganku, maka aku menemuinya dan meraih kedua tangannya untuk aku cium. Aku berkata: “Sungguh, kedua tangan inilah yang telah menyentuh jasad Rasulullah”, kemudian juga aku cium kedua matanya, aku berkata: “Sungguh, kedua mata inilah yang telah melihat Rasulullah”. (Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Ya’la dan para perawinya adalah para perawi Shahih selain ‘Abdullah ibn Abu Bakar al-Maqdimi dan dia adalah perawi yang terpercaya (Tsiqah).

5. Para Sahabat melakukan tabarruk dengan tanah kuburan Rasulullah. al-Imam Ahmad ibn Hanbal dalam kitab Musnad, al-Imam ath-Thabarani dalam kitab al-Mu’jam al-Kabir dan kitab al-Mu’jam al-Awsath, dan al-Imam al-Hakim dalam kitab Mustadrak-nya meriwayatkan bahwa pada suatu ketika Marwan ibn al-Hakam, -salah seorang Khalifah Bani Umayyah di masanya-, datang melewati makam Rasulullah. Dia mendapati seseorang meletakkan wajahnya di atas makam tersebut karena menumpahkan kerinduan dan ingin memperoleh berkah dari Rasulullah. Marwan menghardik orang tersebut: “Sadarkah engkau dengan apa yang sedang engkau perbuat?!”. Orang dimaksud menoleh, dan ternyata dia adalah sahabat Abu Ayyub al-Anshari, salah seorang sahabat Rasulullah terkemuka. Kemudian sahabat Abu Ayyub berkata: “Iya (aku sadar), aku mendatangi Rasulullah dan aku tidak mendatangi sebongkah batu. Aku mendengar Rasulullah bersabda:

لاَ تَبْكُوْا عَلَى الدِّيْنِ إِذَا وَلِيَهُ أَهْلُهُ، وَلكِنْ ابْكُوْا عَلَيْهِ إِذَا وَلِيَهُ غَيْرُ أَهْلِهِ

“Jangan tangisi agama ini jika dikendalikan oleh ahlinya, tetapi tangisilah agama ini apabila ia dikendalikan oleh orang yang bukan ahlinya”. (Maksud sahabat Abu Ayyub: “Engkau, wahai Marwan tidak layak menjadi seorang Khalifah”).

Dalam kitab Wafa’ al-Wafa, as-Samhudi meriwayatkan dengan sanad yang jayyid (kuat) bahwa sahabat Bilal bin Rabah ketika pindah ke Syam dan tinggal di sana, kemudian beliau berziarah ke makam Rasulullah di Madinah. Setelah sampai di makam Rasulullah, ia meneteskan air mata dan membolak-balikkan wajahnya di atas tanah makam Rasulullah”.
As-Samhudi juga menukil dari Kitab Tuhfah Ibn ‘Asakir bahwa ketika Rasulullah telah dimakamkan, as-Sayyidah Fatimah datang kemudian berdiri di samping makam lalu mengambil segenggam tanah dari makam Rasulullah tersebut dan ia letakkan tanah itu ke matanya kemudian ia menangis...”.

6. al-Imam al-Hakim dalam al-Mustadrak, dan al-Hafizh al-Baihaqi dalam kitab Dala-il an-Nubuwwah, dan lainnya meriwayatkan dengan sanad-nya dari sahabat Khalid ibn al-Walid, bahwa di perang Yarmuk beliau kehilangan pecinya. Khalid berkata -kepada prajuritnya-: “Carilah peci saya!”. Mereka mencari-cari namun mereka tidak menemukannya. Setelah dicari-cari kembali akhirnya mereka menemukannya dan ternyata peci tersebut adalah peci yang sudah sangat lusuh. Khalid berkata:

اعْتَمَرَ رَسُوْلُ اللهِ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ فَحَلَقَ رَأسَهُ فَابْتَدَرَ النّاسُ جَوَانِبَ شَعْرِهِ فَسَبَقْتُهُمْ إلَى نَاصِيَتهِ فَجَعَلْتُهَا فِي هذِهِ القَلَنْسُوَةِ فَلَمْ أشْهَدْ قِتَالاً وَهِيَ مَعِيْ إلاّ رُزِقْتُ النَّصْرَ

“Ketika Rasulullah melakukan umrah (Ji’ranah) dan memotong rambutnya, banyak orang memburu bagian pinggir rambutnya. Namun aku berhasil mendahului mereka meraih rambut dari ubun-ubunnya dan aku letakan di peci ini, hingga tidak ada satu peperanganpun yang aku ikuti dan rambut itu bersama-ku kecuali aku diberi kemenangan”.

Kisah ini diriwayatkan dengan sanad yang shahih. Al-Muhaddits Habib ar-Rahman al-A’zhami dalam Ta’liq-nya terhadap al-Mathalib al-‘Aliyah karya al-Hafizh Ibn Hajar menuliskan: “al-Hafizh al-Bushiri mengatakan: Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Ya’la dengan sanad yang shahih. Al-Hafizh al-Haytsami mengatakan: Ath-Thabarani dan Abu Ya’la meriwayatkan riwayat serupa, dan para perawi keduanya adalah para perawi yang shahih” .

7. Para sahabat melakukan tabarruk dengan air wudlu Rasulullah. al-Imam al-Bukhari meriwayatkan dalam kitab Shahih-nya dari ‘Aun ibn Abi Juhaifah, dari ayahnya, bahwa ia berkata: “Aku mendatangi Rasulullah dan aku melihat Bilal mengambilkan air wudlu-nya, dan aku melihat orang-orang merebutkan -bekas- air wudlu Rasulullah tersebut. Orang yang dapat mengambilnya lalu ia mengusapkannya ke tubuhnya, dan orang yang tidak memperoleh bagian, maka ia mengambil dari tangan temannya yang masih basah”.

8. Para sahabat bertabarruk dengan bagian mimbar Rasulullah. Ibn Abi Syaibah dalam kitab Mushannaf-nya meriwayatkan dari Abu Maududah berkata: “Telah mengkhabarkan kepadaku Yazid ibn Abd al-Malik bin Qasith, bahwa ia berkata: “Aku menyaksikan banyak dari para sahabat Rasulullah jika masjid telah sepi mereka berdiri menuju bagian mimbar yang biasa dipegang oleh tangan Nabi lalu mereka mengusapnya dan berdoa”. Abu Mawdudah berkata: “Saya juga melihat Yazid melakukan hal itu”.

9. Dalam kitab Su-alat ‘Abdullah ibn Ahmad ibn Hanbal, -putera al-Imam Ahmad ibn Hanbal-, bahwa ia (‘Abdullah) berkata: “Aku bertanya kepada ayahku (Ahmad ibn Hanbal), tentang seseorang yang menyentuh dan mengusap bagian mimbar yang biasa dipegang oleh tangan Rasulullah untuk bermaksud bertabarruk dengannya, demikian juga aku tanyakan tentang orang yang mengusap kuburan Rasulullah -untuk tujuan itu-”. Ayahku menjawab: “Tidak apa-apa (boleh)”.
Dalam Kitab al-‘Ilal Wa Ma’rifah ar-Rijal disebutkan: “Aku (‘Abdullah) bertanya kepada ayahku (Ahmad ibn Hanbal) tentang orang yang menyentuh mimbar Rasulullah dan bertabarruk dengan menyentuh dan menciumnya, dan melakukan hal itu terhadap kuburan Rasulullah atau semacamnya, ia dengan itu bermaksud untuk taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah. Ia (Ahmad ibn Hanbal) menjawab: “Tidak apa-apa (boleh)” .
Dengan demikian, apa yang hendak dikatakan oleh kalangan anti tabarruk dari orang-orang Wahhabiyyah tentang Imam Ahmad ibn Hanbal yang mereka banggakan sebagai panutan mereka?! Apakah mereka akan mengatakan Ahmad ibn Hanbal mengajarkan perbuatan syirik, karena beliau membolehkan dan bahkan mencontohkan tabarruk?! Hendak “kabur” ke mana mereka dari bukti-bukti ini?!


Kerancuan Kalangan Anti Tabarruk

Kalangan yang anti tabarruk, tawassul, dan semacamnya seringkali ketika mereka terbentur dengan hadits-hadits atau amaliah para ulama salaf dan khalaf yang bertentangan dengan pendapat mereka, mereka mengatakan:

A. Hadits-hadits tentang tabarruk dan tawassul ini khusus berlaku kepada Rasulullah!.
B. Mereka, para ulama tersebut melakukan perbuatan yang tidak ada dalilnya, dengan demikian harus ditolak, siapa-pun orang tersebut!.

Jawab:
A. Kita katakan kepada mereka: Adakah dalil yang mengkhususkan tabarruk, tawassul dan istighotsah hanya kepada Rasulullah saja?! Mana dalil kekhususan (Khushushiyyah) tersebut?! Apakah setiap ada hadits yang bertentangan dengan pendapat kalian, kemudian kalian katakan bahwa khusus berlaku kepada Rasulullah saja?! Mari kita lihat berikut ini pemahaman para ulama kita tentang hadits-hadits tabarruk dan semacamnya, bahwa mereka memahaminya tidak hanya khusus kepada Rasulullah saja.
Al-Imam Ibn Hibban dalam kitab Shahih-nya menuliskan sebagai berikut:

بَابُ ذِكْرِ إِبَاحَةِ التَّـبَرُّكِ بِوَضُوْءِ الصَّالِحِيْنَ مِنْ أَهْلِ العِلْمِ إِذَا كَانُوْا مُتَّبِعِيْنَ لِسُنَنِ الْمُصْطَفَى صَلَّى اللهُ عَليْه وَسَلّمَ، عَنْ ابْنِ أَبِيْ جُحَيْفَةَ، عَنْ أَبِيْهِ قَالَ: رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَليْه وَسَلّمَ فِيْ قُبَّةٍ حَمْرَاءَ وَرَأَيْتُ بِلاَلاً أَخْرَجَ وَضُوْءَهُ فَرَأَيْتُ النَّاسَ يَبْتَدِرُوْنَ وَضُوْءَهُ يَتَمَسَّحُوْنَ.

“Bab menyebutkan kebolehan tabarruk dengan bekas air wudlu orang-orang saleh dari kalangan para ulama, jika mereka memang orang-orang mengikuti sunnah-sunnah Rasulullah”. Dari Ibn Abi Juhaifah, dari ayahnya, bahwa ia berkata: Aku melihat Rasulullah di Qubbah Hamra’, dan aku melihat Bilal mengeluarkan air wudlu Rasulullah, kemudian aku melihat banyak orang memburu bekas air wudlu tersebut, mereka semua mengusap-usap dengannya” .

Dalam teks di atas sangat jelas bahwa Ibn Hibban memahami tabarruk sebagai hal yang tidak khusus kepada Rasulullah saja, tetapi juga berlaku kepada al-Ulama al-‘Amilin. Karena itu beliau mencantumkan hadits tentang tabarruk dengan air bekas wudlu Rasulullah di bawah sebuah bab yang beliau namakan: “Bab menyebutkan kebolehan tabarruk dengan bekas air wudlu orang-orang saleh dari kalangan para ulama, jika mereka memang orang-orang mengikuti sunnah-sunnah Rasulullah”.
Syekh Mar’i al-Hanbali dalam Ghayah al-Muntaha menuliskan:

وَلاَ بَأْسَ بِلَمْسِ قَبْرٍ بِيَدٍ لاَ سِيَّمَا مَنْ تُرْجَى بَرَكَتُهُ

“Dan tidak mengapa menyentuh kuburan dengan tangan, apalagi kuburan orang yang diharapkan berkahnya” .

Bahkan dalam kitab al-Hikayat al-Mantsurah karya al-Hafizh adl-Dliya’ al-Maqdisi al-Hanbali, disebutkan bahwa beliau (adl-Dliya’ al-Maqdisi) mendengar al-Hafizh ‘Abd al-Ghani al-Maqdisi al-Hanbali mengatakan bahwa suatu ketika di lengannya muncul penyakit seperti bisul, dia sudah berobat ke mana-mana dan tidak mendapatkan kesembuhan. Akhirnya ia mendatangi kuburan al-Imam Ahmad ibn Hanbal. Kemudian ia mengusapkan lengannya ke makam tersebut, lalu penyakit itu sembuh dan tidak pernah kambuh kembali.

As-Samhudi dalam Wafa’ al-Wafa mengutip dari al-Imam al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani, bahwa beliau berkata:

اِسْتَنْبَطَ بَعْضُهُمْ مِنْ مَشْرُوْعِيَّةِ تَقْبِيْلِ الْحَجَرِ الأَسْوَدِ جَوَازَ تَقْبِيْلِ كُلِّ مَنْ يَسْتَحِقُّ التَّعْظِيْمَ مِنْ ءَادَمِيٍّ وَغَيْرِهِ، فَأَمَّا تَقْبِيْلُ يَدِ الآدَمِيِّ فَسَبَقَ فِيْ الأَدَبِ، وَأَمَّا غَيْرُهُ فَنُقِلَ عَنْ أَحْمَدَ أَنَّهُ سُئِلَ عَنْ تَقْبِيْلِ مِنْبَرِ النَّبِيِّ وَقَبْرِهِ فَلَمْ يَرَ بِهِ بَأْسًا، وَاسْتَبْعَدَ بَعْضُ أَتْبَاعِهِ صِحَّتَهُ عَنْهُ وَنُقِلَ عَنْ ابْنِ أَبِيْ الصَّيْفِ اليَمَانِيِّ أَحَدِ عُلَمَاءِ مَكَّةَ مِنَ الشَّافِعِيَّةِ جَوَازُ تَقْبِيْلِ الْمُصْحَفِ وَأَجْزَاءِ الْحَدِيْثِ وَقُبُوْرِ الصَّالِحِيْنَ، وَنَقَلَ الطَّيِّبُِ النَّاشِرِيُّ عَنْ الْمُحِبِّ الطَّبَرِيِّ أَنَّهُ يَجُوْزُ تَقْبِيْلُ الْقَبْرِ وَمسُّهُ قَالَ: وَعَلَيْهِ عَمَلُ العُلَمَاءِ الصَّالِحِيْنَ.

“-Al-Hafizh Ibn Hajar mengatakan- bahwa sebagian ulama mengambil dalil dari disyari'atkannya mencium hajar aswad, kebolehan mencium setiap yang berhak untuk diagungkan; baik manusia atau lainnya, -dalil- tentang mencium tangan manusia telah dibahas dalam bab Adab, sedangkan tentang mencium selain manusia, telah dinukil dari Ahmad ibn Hanbal bahwa beliau ditanya tentang mencium mimbar Rasulullah dan kuburan Rasulullah, lalu beliau membolehkannya, walaupun sebagian pengikutnya meragukan kebenaran nukilan dari Ahmad ini. Dinukil pula dari Ibn Abi ash-Shaif al-Yamani, -salah seorang ulama madzhab Syafi'i di Makkah-, tentang kebolehan mencium Mushaf, buku-buku hadits dan makam orang saleh. Kemudian pula Ath-Thayyib an-Nasyiri menukil dari al-Muhibb ath-Thabari bahwa boleh mencium kuburan dan menyentuhnya, dan dia berkata: Ini adalah amaliah para ulama saleh” .

Tentang keraguan dari sebagian orang yang mengaku sebagai pengikut Ahmad ibn Hanbal yang disebutkan oleh al-Hafizh Ibn Hajar di atas jelas tidak beralasan sama sekali. Karena pernyataan Ahmad ibn Hanbal tersebut telah kita kutipkan langsung dari buku-buku putera beliau sendiri, yatiu ‘Abdullah ibn Ahmad dalam kitab Su-alat ‘Abdullah ibn Ahmad ibn Hanbal dan al-‘Ilal Wa Ma’rifah ar-Rijal seperti telah kita sebutkan di atas.

Al-Badr al-‘Aini dalam ‘Umdah al-Qari mengutip dari al-Muhibb ath-Thabari bahwa ia berkata sebagai berikut:

وَيُمْكِنُ أَنْ يُسْتَنْبَطَ مِنْ تَقْبِيْلِ الْحَجَرِ وَاسْتِلاَمِ الأَرْكَانِ جَوَازُ تَقْبِيْلِ مَا فِيْ تَقْبِيْلِهِ تَعْظِيْمُ اللهِ تَعَالَى فَإِنَّهُ إِنْ لَمْ يَرِدْ فِيْهِ خَبَرٌ بِالنَّدْبِ لَمْ يَرِدْ بِالكَرَاهَةِ، قَالَ: وَقَدْ رَأَيْتُ فِيْ بَعْضِ تَعَالِيْقِ جَدِّيْ مُحَمَّدِ بْنِ أَبِيْ بَكْرٍ عَنْ الإِمَامِ أَبِيْ عَبْدِ اللهِ مُحَمَّدِ بْنِ أَبِيْ الصَّيْفِ أَنَّ بَعْضَهُمْ كَانَ إِذَا رَأَى الْمَصَاحِفَ قَبَّلَهَا وَإِذَا رَأَى أَجْزَاءَ الْحَدِيْثِ قَبَّلَهَا وَإِذَا رَأَى قُبُوْرَ الصَّالِحِيْنَ قَبَّلَهَا، قَالَ: وَلاَ يَبْعُدُ هذَا وَاللهُ أَعْلَمُ فِيْ كُلِّ مَا فِيْهِ تَعْظِيْمٌ للهِ تَعَالَى.

“Dapat diambil dalil dari disyari'atkannya mencium hajar aswad dan melambaikan tangan terhadap sudut-sudut Ka’bah tentang kebolehan mencium setiap sesuatu yang jika dicium maka itu mengandung pengagungan kepada Allah. Karena meskipun tidak ada dalil yang menjadikannya sebagai sesuatu yang sunnah, tetapi juga tidak ada yang memakruhkan. Al-Muhibb ath-Thabari melanjutkan: Aku juga telah melihat dalam sebagian catatan kakek-ku; Muhammad ibn Abi Bakar dari al-Imam Abu ‘Abdillah Muhammad ibn Abu ash-Shaif, bahwa sebagian ulama dan orang-orang saleh ketika melihat mushaf mereka menciumnya. Lalu ketika melihat buku-buku hadits mereka menciumnya, dan ketika melihat kuburan orang-orang saleh mereka juga menciumnya. ath-Thabari mengatakan: Ini bukan sesuatu yang aneh dan bukan sesuatu yang jauh dari dalilnya, bahwa termasuk di dalamnya segala sesuatu yang mengandung unsur Ta'zhim (pengagungan) kepada Allah. Wa Allahu A’lam” .

Dari teks-teks ini kita dapat melihat dengan jelas bahwa para ahli hadits, seperti al-Imam Ibn Hibban, al-Muhibb ath-Thabari, al-Hafizh adl-Dliya’ al-Maqdisi al-Hanbali, al-Hafizh ‘Abd al-Ghani al-Maqdisi al-Hanbali, dan para ulama penulis Syarh Shahih al-Bukhari, seperti al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani dengan Fath al-Bari’, al-Badr al-'Aini dengan ‘Umdah al-Qari’, juga para ahli Fikih madzhab Hanbali seperti Syekh Mar’i al-Hanbali dan lainnya, semuanya memiliki pemahaman bahwa kebolehan tabarruk tidak khusus berlaku kepada Rasulullah saja.

Dari sini, kita katakan kapada orang-orang anti tabarruk: Apa sikap kalian terhadap teks-teks para ulama ini?! Apakah kalian akan akan mengatakan bahwa para ulama tersebut berada di dalam kesesatan, dan hanya kalian yang benar dengan ajaran baru kalian?!

B. Jika dalil-dalil yang telah kita sebutkan itu bukan dalil, lalu apa yang mereka maksud dengan dalil? Apakah yang disebut dalil hanya jika disebutkan oleh panutan-panutan mereka saja?! Siapakah yang lebih tahu dalil dan memahami agama ini, apakah mereka yang anti tabarruk ataukah al-Imam Ahmad ibn Hanbal dan para ulama ahli hadits dan ahli fikih?! Benar, orang yang tidak memiliki alasan kuat akan mengatakan apapun, termasuk sesuatu yang tidak rasional, bahkan terkadang oleh dia sendiri tidak dipahami.

NGALAP BERKAH DI MAKAM ORANG SHOLEH

Bismillahirrohmanirrohim . . .
Allahumma Sholli 'ala Sayyidina Muhammad wa 'ala Ali Sayyidina Muhammad . . .


Kaum muslimin, khususnya Indonesia, sangat gemar mengadakan ziarah ke makam para wali atau org sholeh lainnya, termasuk kami.
Yg paling sering dijadikan tujuan utama ziarah adalah makam Wali Songo yg ada di tanah Jawa. Bahkan, makam Wali Songo ini dikenal oleh ummat Islam se-Asia, terutama Asia Tenggara.

Mereka yg berziarah ke makam org2 sholeh, tidak lain adalah untuk mengingat kematian, bertawassul dan bertabarruk (mengambil berkah) di makam2 tersebut, dan juga dg tujuan agar doa yg selama ini dipanjatkan, dapat segera dikabulkan oleh Allah SWT.

Namun sayang, di akhir zaman ini, ada sekelompok kaum muslimin yg tidak menyukai praktek ziarah ini, bahkan menuduh org yg berziarah wali sebagai 'Ubbadul Qubur (Para penyembah kubur), Na'udzu billah !! Jika mereka tidak ingin melakukan ziarah semacam ini, silakan saja. Tapi kalau sampai menuduh bahkan menghina kami yg berziarah ke makam wali sebagai penyembah kubur, ini tidak bisa dibiarkan ! Bagaimana bisa, org yg berziarah kubur yg merupakan hal yg diperintahkan Rosulullah, dikatakan sebagai penyembah kubur ??? 'Ajiiib wa ghoriiib . . . .


Hal ini akan qta perjelas dengan menggunakan lisan 'ulama, bukan lisan qta yg tak berilmu ini. Kami sangat berharap kepada org yg menuduh kami sebagai penyembah kubur, segera menelan ludahnya kembali dan mencabut tuduhan kejinya.

Kami akan suguhkan kepada pembaca fakta mengenai adanya barokah dan kemustajaban doa di kubur org2 sholeh (para Nabi, 'Ulama, dan Auliya') yg terjadi semenjak ulama Salaf (yg hidup di 3 abad Hijriyyah pertama).
Semoga Allah senantiasa membimbing qta semua kepada jalan kebenaran, Aamiin . . .


  • Al-Imam asy-Syafi'i (wafat 204 H). Beliau bertabarruk di makam Imam Abu Hanifah ketika menghadapi kesulitan. Berikut riwayat yg disampaikan oleh al-Hafizh al-Khothib al-Bahgdadi:

“Telah mengabarkan kepada kami al-Qodli Abu ‘Abdillah al-Husain bin ‘Ali bin Muhammad ash-Shoimari, ia berkata: “Telah memberitakan kepada kami ‘Umar bin Ibrohim al-Muqri’, ia berkata: Telah memberitakan kepada kami Mukarrom bin Ahmad, ia berkata: Telah memberitakan kepada kami ‘Umar bin Ishaq bin Ibrohim, ia berkata: Telah memberitakan kepada kami ‘Ali bin Maimuun, ia berkata: “Aku mendengar Imam asy-Syafi’i berkata: “Sesungguhnya aku benar2 ber-tabarruk dengan Imam Abu Hanifah. Aku datang ke kuburnya setiap hari, yakni untuk berziarah. Apabila aku mempunyai suatu hajat (keperluan), aku pun sholat dua roka’at lalu datang ke kuburnya untuk berdoa kepada Allah Ta’ala untuk hajat tersebut di sisinya. Maka tidak lama setelah itu, hajatku pun terpenuhi.” (Tarikh Baghdad lil Khothib al-Baghdadi, 1/445)

Namun, kisah ini coba di-dlo'if-kan oleh org2 yg anti dg perkara ini, salah satunya Abul Jauza dalam artikelnya. Ternyata pen-dlo'if-an tsb keliru, berikut uraian panjang lebar mengenai ke-shohih-an kisah tsb:
copas dari :  http://www.aswj-rg.com/2014/02/kesahihan-kisah-tabarruk-imam-syafie-dengan-imam-abu-hanifah.html

Di lain tempat, Imam asy-Syafi'i berkata:


قبر موسى الكاظم الترياق المجرب

“Kuburan Musa al-Kazhim adalah tiryaq (obat) yang mujarab (tempat terkabulnya doa).”
(Tuhfah al-Alim, 2/22)

  • Al-Imam Ahmad bin Hanbal (wafat 241 H)


و احمد ممن يجوز السفر لزيارة قبور الانبياء و الصالحين كابي حامد الغزالي و ابي حسن بن عبدوس الحراني و ابي محمد بن قدامة المقدسي

“Imam Ahmad adalah termasuk ulama yg memperbolehkan perjalanan ke makam2 Nabi dan org sholeh, seperti Abu Hamid al-Ghozali (Imam al-Ghozali), Abu Hasan bin 'Ibdus al-Harroni, dan Abu Muhammad Ibnu Qudamah al-Maqdisi (Imam Ibnu Qudamah).”
(Al-'Uqud ad-Durriyyah li Ibni 'Abdil Hadi, 1/349)

Seandainya berziarah ke makam para nabi dan sholihin ('ulama dan auliya') merupakan kesyirikan, maka tentu Imam Ahmad akan melarangnya jauh2 hari, bukan malah memperbolehkan.

Di kitabnya sendiri, Imam Ahmad bin Hanbal berkata:


“Aku (‘Abdullah bin Ahmad bin Hanbal) pernah bertanya kepadanya (Imam Ahmad) tentang seseorang yang mengusap mimbar Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan bertabarruk dengan usapannya itu, serta menciumnya. Dan ia melakukan hal yang serupa terhadap kubur beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam atau yang semisal dengan ini, yang dimaksudkan dengan perbuatannya itu untuk bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah ‘azza wa jalla ??’. Ia (Imam Ahmad) menjawab : ‘Tidak mengapa dengan hal itu’. ”
(Al-’Ilal wa Ma’rifatir Rijal lil Imam Ahmad, 2/492)

  • Al-Imam al-Bukhori (wafat 256 H) bertabarruk di makam Rosulullah Saw saat mengarang kitab:


قال فلما طعنت فى ثماني عشرة و صنفت كتاب قضايا الصاحبة و التابعين ثم صنفت التاريخ في مدينة عند قبر النبي صلى الله عليه و سلم و كنت اكتبه فى الليالى المقمرة

“Al-Imam al-Bukhori berkata: “Ketika aku menginjak usia 18 tahun, aku mengarang kitab himpunan nama2 shohabat dan tabi’in. Kemudian aku mengarang kitab “at-Tarikh” di Madinah, di sisi kubur Nabi Saw, dan aku menulisnya di malam2 purnama.”
(Fat-hul Bari lil Hafizh Ibni Hajar al-'Asqolani, 1/478)

Mengapa Imam Bukhori capek2 datang ke makam Rosul Saw untuk mengarang kitab ? Bukan kah di rumah lebih enak dan nyaman ?
Tentu barokahlah yg beliau harapkan di sisi kubur Nabi Saw. Perlu diingat pula bahwa mengarang kitab adalah ibadah yg sangat besar !!

  • Al-Imam Ibrohim al-Harbi (wafat 285 H), seorang ulama yg sifat zuhud dan keilmuannya sering diserupakan dg Imam Ahmad bin Hanbal.

“Telah mengkabarkan kepada kami Isma’il bin Ahmad al-Hairi, ia berkata: Telah mengkabarkan kepada kami Muhammad bin al-Husain as-Sulami, ia berkata: Aku mendengar Abul Hasan bin Miqsam berkata: Aku mendengar Abu ‘Ali ash-Shaffar berkata: Aku mendengar Ibrohim al-Harbi berkata: “Kuburan Ma’ruf al-Karkhi adalah tiryaq (obat) yang mujarrab.” ” (Tarikh Baghdad lil Khothib al-Baghdadi, 1/445)

Makna “tiryaq” adalah:


والترياق هو دواء مركب معروف عند الأطباء القدامى بكثرة منافعه, وقد شبه الحافظ الحربي قبر معروف بالترياق في كثرة الانتفاع به فكأنه يقول :أيها الناس إقصدوا قبر
معروف تبركا به من كثرة منافعه .


Tiryaq adalah obat yang diracik dari berbagai bahan yang dikenal di kalangan para tabib masa lalu karena banyaknya manfaatnya dan banyak macamnya. Ibrohim al-Harbi menyerupakan makam Ma’ruf al-Karkhi dengan obat dalam banyaknya manfaat, maka seolah-olah Ibrohim al-Harbi berkata : “Wahai manusia, datanglah ke kuburan Ma’ruf al-Karkhi dengan bertabarruk karena banyaknya manfaat yang akan diperoleh”. (Tarikh Baghdad, 1/122) 

  • Al-Imam Ibnu Khuzaimah (wafat 311 H), pengarang kitab Shohih Ibnu Khuzaimah. Beliau bertabarruk dan berdoa di makam 'Ali bin Musa ar-Ridlo:



“Imam al-Hakim berkata dalam kitab Tarikh Naisabur: “Aku mendengar Abu Bakar Muhammad bin al-Mu'ammil bin Hasan bin 'Isa berkata: “Kami keluar bersama Imam ahli hadits Abu Bakar Ibnu Khuzaimah dan sahabatnya, Abu 'Ali ats-Tsaqofi, beserta jama'ah dari guru2 kami. Mereka semua berdatangan ziarah ke makam 'Ali bin Musa ar-Ridlo di Thus. Aku melihat ke-ta'zhim-an (pengagungan) Ibnu Khuzaimah terhadap makam tsb dan ketawadlu'annya, serta ke-tadlorru'-annya (permohonannya yg sangat khusyu') di makam tsb,hingga membuat kami bingung.” (Tahdzibut Tahdzib lil Hafizh Ibni Hajar, 3/195)

Barangkali yg ingin tahu, siapakah Abu 'Ali ats-Tsaqofi, sahabat Imam Ibnu Khuzaimah itu ? Dia adalah:


“Dia adalah al-Imam al-Muhaddits al-Faqih al-'Allamah az-Zahid al-'Abid, syaikh negeri Khurosan, Abu 'Ali Muhammad bin Abdul Wahab bin Abdurrohman ats-Tsaqofi an-Naisaburi asy-Syafi'i, al-Wa'izh. Lahir tahun 244 H dan wafat tahun 324 H.” (Siyar A'lam an-Nubala' lil Hafizh adz-Dzahabi, 15/280)

  • Al-Imam Abu ‘Abdillah bin al-Mahamili (wafat 330 H)



“Telah mengabarkan kepada kami Abu ‘Abdillah Muhammad bin ‘Ali bin ‘Abdillah as-Shuri, ia berkata “aku mendengar Abul Husain Muhammad bin Ahmad bin Jumai’ berkata “aku mendengar Abu Abdillah bin al-Mahamili berkata: “Aku mengetahui kubur Ma’ruf al-Karkhi selama tujuh puluh tahun. Tidaklah seorang yang sedang mengalami kesusahan kemudian mendatangi kuburnya, kecuali Allah akan melapangkan kesusahannya.” 
(Tarikh Baghdad lil Khothib al-Baghdadi, 1/445)

  • Al-Imam Ibnu Hibban (wafat 354 H), penulis kitab Shohih Ibnu Hibban. Beliau bertabarruk di makam 'Ali bin Musa ar-Ridlo ketika sedang ditimpa kesulitan:


“Ali bin Musa ar-Ridlo. Ia wafat di Thus karena meminum racun yg diberikan oleh Kholifah al-Ma’mun dan wafat seketika itu juga. Itu terjadi di hari Sabtu tahun 203 H. Makamnya berada di Sanabadz, sebelah luar Nauqan, sudah masyhur dan diziarahi, letaknya di dekat makam ar-Rasyid. Aku sudah sering berziarah berkali-kali. Tidaklah aku mengalami kesulitan ketika aku berada di Thus lalu aku berziarah ke makam 'Ali bin Musa ar-Ridlo sholawatullahi 'ala jaddihi wa 'alaih dan aku berdoa kepada Allah untuk menghilangkan kesulitan tersebut, kecuali dikabulkan untukku, dan kesulitan itu pun lenyap dari ku. Ini aku alami berkali-kali dan aku selalu menemukannya seperti itu. Semoga Allah mematikan kita dalam kecintaan terhadap Rosulullah dan ahlul baitnya shollallahu alaihi wa 'alaihim ajma'in.” (Ats-Tsiqot lil Imam Ibni Hibban, 3/456)

Semua ulama di atas adalah ulama2 salaf (hidup dalam 3 abad Hijriyyah pertama). Dari sini, qta dapat mengetahui bahwa amalan bertabarruk dan berdoa di makam org sholeh merupakan amalan para ulama salaf.
Pertanyaan: apakah mereka tidak lebih mengerti tentang tauhid dan syirik daripada org2 Wahabi ?? apakah mereka juga akan dicap sebagai 'Ubbadul Qubur (para penyembah kubur) ?????

  • Al-Hafizh al-Khothib al-Bahgdadi (wafat 463 H). Bukan hanya menyebutkan berbagai kisah tabarruk di atas, beliau juga menyebutkan kisah tabarruk yg sangat menarik, yaitu oleh asy-Syaikh al-'Alim al-'Abid Ahmad bin al-'Abbas asy-Syami:

“Telah mengabarkan kepada kami Abu 'Abdirrohman Ahmad bin Isma'il al-Hiri adl-Dlorir, telah mengabarkan kepada kami Abu 'Abdirrohman Muhammad bin al-Husain as-Sulami di Naisabur, ia berkata: Aku mendengar Abu Bakar ar-Rozi berkata: Aku mendengar 'Abdullah bin Musa ath-Tholhi berkata: Aku mendengar Ahmad bin al-'Abbas berkata: “Aku hendak keluar dr Baghdad, kemudian berjumpa dg seorang laki2 yg ada tanda ibadahnya (seorang ahli ibadah), ia bertanya: “Dari mana anda?” Aku menjawab: “Aku keluar dr Baghdad, ingin kabur karena di Baghdad sedang ada kekacauan, aku khawatir penduduk Baghdad akan disiksa”. Kemudian ia berkata: “Kembalilah ! Jangan takut ! Karena di Baghdad ada 4 makam wali yg menjadi benteng mereka dari semua petaka”. Aku bertanya: “Siapa mereka ?” Ia menjawab: “Imam Ahmad bin Hanbal, Ma'ruf al-Karkhi, Bisyir al-Hafi, dan Manshur bin 'Ammar”. Kemudian aku pun kembali, berziarah ke makam2 tsb. Dan ternyata aku tidak keluar dr Baghdad pada tahun itu (karena aman).” (Tarikh Baghdad lil Khothib al-Baghdadi, 1/443)

  • Al-Hafizh Abu 'Ali al-Ghossani (wafat 498 H). Beliau menyebutkan kisah tabarruk yg sangat masyhur, yaitu kisah Istisqo'-nya Qodli Samarkandi di makam Imam Bukhori:


أخبرني أبو الحسن طاهر بن مفوز ابن عبد الله بن مفوز المعافري صاحبنا رحمه الله، قال: أخبرني أبو الفتح وأبو الليث نصر بن الحسن التنكتي المقيم بسمرقند –قدم عليهم بلنسية عام أربعة وستين وأربعمة- قال: قحط المطر عندنا بسمرقند في بعض الأعوام، قال: فاستسقى الناس مرارا فلم يسقوا، قال: فأتى رجل من الصالحين معروف بالصلاح مشهور به إلى قاضي سمرقند، فقال له: إني قد رأيت رأيا أعرضه عليك، قال: وما هو؟ قال: أرى أن تخرج ويخرج الناس معك إلى قبر الإمام محمد بن إسماعيل البخاري رحمه الله- وقبره بخرتنك، ونستسقي عنده، فعسى الله أن يسقينا، قال: فقال القاضي: نعما رأيت. فخرج القاضي وخرج الناس معه، واستسقى القاضي بالناس، وبكى الناس عند القبر، وتشفعوا بصاحبه، فأرسل الله تبارك وتعالى السماء بماء عظيم غزير أقام الناس من أجله بخرتنك سبعة أيام أو نحوها، لا يستطيع أحد الوصول إلى سمرقند من كثرة المطر وغزارته، وبين خرتنك وسمرقند ثلاثة أميال أو نحوها.

“Telah mengabarkan padaku Abul Hasan Thohir bin Mafuz Ibnu Abdillah bin Mafuz al-Mu’aafiri, shohib kami –semoga Allah merahmatinya- ia berkata, “Telah mengabarkan padaku Abul Fath dan Abu al-Laits Nashr bin al-Hasan at-Tankati yang bermukim di Samarqandi, ia datang pada mereka di Valencia (Spanyol) tahun 464 H. Selama beberapa tahun, hujan tidak turun pada kami di negeri Samarqandi. Orang-orang melakukan istisqo’ (shalat meminta hujan) beberapa kali, namun hujan tidak juga turun. Maka, seorang laki-laki sholih yang dikenal dengan kesholihannya mendatangi Qodli negeri Samarqandi. Ia berkata: “Sesungguhnya aku mempunyai satu pendapat yang hendak aku sampaikan kepadamu”. Qodli berkata: “Apa itu ?” Ia berkata: “Aku berpendapat agar engkau keluar bersama orang-orang menuju kubur al-Imam Muhammad bin Isma’il al-Bukhori. Makam beliau ada di Kharantak. Lalu kita melakukan istisqo’ di sisi kuburnya, semoga Allah menurunkan hujan kepada kita”. Qodli berkata : “Ya, aku setuju”.
Maka, sang Qodli pun keluar dan diikuti oleh orang-orang bersamanya. Qodli tersebut melakukan istisqo’  bersama orang-orang. Orang-orang menangis di sisi kubur dan meminta syafa’at kepada penghuni kubur (al-Imam al-Bukhori). Setelah itu, Allah Ta’ala mengutus awan yang membawa hujan sangat lebat. Orang-orang tinggal di Kharantak selama kurang lebih tujuh hari. Tidak seorang pun yang dapat pulang ke Samarqandi karena derasnya hujan yang turun. Jarak antara Kharantak dan Samarqandi sekitar tiga mil.” (Taqyid al-Muhmal wa Tamyiz al-Musykal lil Hafizh al-Ghossani, 1/44).

Baca selengkapnya di: http://www.aswj-rg.com/2014/03/kesahihan-riwayat-bertabarruk-di-makam-imam-bukhari.html

  • Al-Hafizh Ibnu 'Asakir (wafat 571 H). Beliau mempunyai kitab yg sangat populer, yaitu Tarikh Dimasyq, sebuah kitab yg mengupas seluk beluk kota Damaskus yg penuh sejarah. Kitab ini merupakan kitab sejarah yg paling besar. Bagaimana tidak, kitab yg hanya menguraikan satu kota saja, dicetak sebanyak 80 jilid. Dalam kitab ini, beliau juga menyebutkan kisah yg sama dg al-Khothib al-Baghdadi, yaitu  kisah tabarruknya Ahmad bin al-'Abbas, pada juz 60 halaman 344.

  • Al-Imam al-Hafizh Abdul Haq al-Isybili (wafat 582 H)
“Dan ketahuilah bahwasannya makam2 org sholeh tidak sepi dari barokah. Sungguh org yg menziarahinya, mengucap salam kepadanya, membaca Quran di dekatnya, dan berdoa untuk org2 yg ada di dalamnya, maka tidak akan kembali kecuali dengan kebaikan dan membawa pahala.” (Al-’Aqibah fi Dzikril Maut lil Imam 'Abdil Haq al-Isybili, 1/163)

  • Al-Imam al-Hafizh Ibnul Jauzi (wafat 597 H)
“Hendaknya seseorang memiliki rutinitas ziarah ke makam2 org sholeh dan menyendiri di sana.” (Shoidul Khothir lil Hafizh Ibnil Jauzi, 1/418)

Dalam kitabnya yg lain ketika menyebutkan biografi Ma’ruf al-Karkhi:


“Ma’ruf al-Karkhi meriwayatkan hadits dari Bakr bin Khunais, Abdullah bin Musa, dan Ibnu as-Simak. Ia wafat pada 200 H. Kuburnya tampak nyata di Baghdad, yaitu tempat untuk bertabarruk. Ibrohim al-Harbi berkata: “Kubur Ma’ruf al-Karkhi adalah tiryaq (obat) yg mujarrab.”  (Shifatus Shofwah li Ibnil Jauzi, 2/324)

  • Al-Imam al-Hafizh al-Mu'arrikh Ibnul Atsir (wafat 606 H)


و قد قال بعضهم : كانت خلافته (علي بن ابي طا لب) خمس سنين الا ثلاثة اشهر و كان عمره ثلاثا و ستين سنة و لما قتل دفن عند مسجد الجماعة و قيل فى القصر و قيل غير ذلك و الاصح ان قبره هو الموضع الذى يزار و يتبرك به

“Sebagian ulama berkata: “Masa khilafah Ali bin Abi Tholib adalah 5 tahun kurang 3 bulan. Usianya 63 tahun. Setelah dibunuh, beliau dimakamkan di dekat masjid al-Jama’ah. Ada yg mengatakan di istana, dan lain sebagainya. Pendapat yg lebih shohih adalah makam beliau berada di tempat yg diziarahi dan dicari berkahnya.” (Al-Kamil fit Tarikh li Ibnil Atsir, 2/104)

  • Al-Imam an-Nawawi (wafat 676 H). Ketika menyebutkan biografi shohabat Tholhah, beliau berkata:


قتل طلحة رضي الله عنه يوم الجمل لعشر خلون من جمادى الاولى سنة ست و ثلاثين و هذا لا خلاف فيه و كان عمره اربعا و ستين سنة و قيل ثمانيا و خمسين و قيل اثنتين و ستين و قيل ستين و قبره بالبصرة مشهور يزار و يتبرك به

“Tholhah terbunuh saat perang Jamal pada 10 Jumadil Ula tahun 36 H. Dalam hal ini tak ada perbedaan pendapat. Umurnya adalah 64 tahun. Ada yg mengatakan 58 tahun, ada yg mengatakan 62 tahun, ada yg mengatakan 60 tahun. Kuburnya ada di Bashroh, masyhur, diziarahi, dan dicari berkahnya.” (Tahdzibul Asma’ wal Lughot lil Imam an-Nawawi, 1/344)

Ketika menyebutkan biografi shohabat Abu 'Ubaidah:


وقبر ابى عبيدة بغور بيسان عند قرية تسمى عمتا و على قبره من الجلالة ما هو لائق به و قد زرته فرايت عنده عجبا

“Makam Abu 'Ubaidah ada di Ghourbisan, di sebuah desa bernama 'Amtan. Di makamnya ada keagungan yg sesuai dengan dirinya. Sungguh aku sudah menziarahinya dan melihat keajaiban di makamnya.” (Tahdzibul Asma’ wal Lughot lil Imam an-Nawawi, 3/151)

Berikut ini qoul beliau yg disebutkan oleh al-Imam Tajuddin as-Subki ketika menguraikan biografi Syaikh Abul Fath Nashr al-Maqdisi:

“Syaikh Abul Fath Nashr wafat di hari Selasa, 9 Muharrom 490 H di Damaskus. Kaum muslimin membawa jenazahnya pada waktu Zhuhur tetapi mereka tidak bisa menguburkannya kecuali di waktu Maghrib karena banyaknya peziarah. Kuburnya diketahui terletak di Babus Shoghir, di bawah kubur Mu’awiyyah rodliyallahu ta’ala ‘anhu. Imam an-Nawawi berkata: “Aku mendengar dari para syaikh bahwa berdoa di makamnya di hari Sabtu adalah mustajab.” (Thobaqotus Syafi'iyyah al-Kubro li Tajiddin as-Subki, 5/253)

Qoul beliau tsb juga dikutip oleh al-Hafizh Ibnu Qodli Syuhbah dalam kitabnya yg berjudul sama:
“Syaikh Abul Fath Nashr wafat di hari ‘Asyuro tahun 490 H. Ia dikuburkan di Babus Shoghir. Kuburnya tampak nyata dan diziarahi. Imam an-Nawawi berkata: “Aku mendengar dari para syaikh bahwa berdoa di makamnya di hari Sabtu adalah mustajab.” Ia (Imam an-Nawawi) sering menyebutnya dalam kitab ar-Roudloh.” (Thobaqotus Syafi'iyyah li Ibni Qodli Syuhbah, 1/303)

  • Al-Imam al-Qodli Ibnu Kholkan (wafat 681 H). Ketika menguraikan biografi seorang raja yg masyhur dg keadilannya, Nuruddin Mahmud Zinki, beliau berkata:
 
“Ia lahir pada hari Ahad ketika matahari terbit, tanggal 17 Syawwal tahun 511 H dan wafat pada hari Rabu, 11 Syawwal 569 H di Qol’ah, Damaskus. Ia dikuburkan di sebuah rumah di Qol’ah. Di sana dilazimkan duduk (untuk berziarah) dan mabit (menginap). Kemudian jenazahnya dipindahkan ke tanah kelahirannya, di madrasahnya, yg ia dirikan di dekat Bab Sauq al-Khowashin. Aku (Ibnu Kholkan) mendengar segolongan ulama Damaskus berkata: “Berdoa di sisi makamnya adalah mustajab.” Sungguh aku sudah mencobanya sendiri dan ternyata BENAR!!! Semoga Allah merahmatinya.” (Wafiyyatul A’yan wa Anba’i Abna’iz Zaman li Ibni Kholkan, 5/187)

  • Al-Imam Ibnul Hajj al-‘Abdari (wafat 737 H)

Kalangan para ‘ulama besar dari Timur hingga Barat senantiasa bertabarruk dengan menziarahi kuburan para sholihin dan mereka selalu mendapatkan barokah dari hal tsb baik dirasakan secara langsung maupun tidak. Dan sungguh asy-Syaikh al-Imam Abu ‘Abdillah bin an-Nu’man rohimahullah telah menuturkan dalam kitabnya yg bernama “Safinatun Najah li Ahlil Iltija’ fi Karomati asy-Syaikh Abi Naja’” dalam pujiannya terhadap perkataan Syaikh Abi Naja’ tentang masalah ini: “Telah nyata bagi org yg memilki mata hati dan ahli mengambil pelajaran, bahwa sesungguhnya ziarah ke makam org2 sholeh adalah dicintai karena untuk mencari berkah dan mengambil pelajaran. Sebab berkah org2 sholeh tetap berjalan setelah wafatnya sebagaimana saat masa hidupnya.” (Al-Madkhol lil Imam Ibnil Hajj al-‘Abdari, 1/254)

Di bagian lain dari kitabnya, ia berkata:


“Sepatutnya bagi keluarga mayyit untuk memilihkan penguburannya di dekat kuburan para ‘ulama, para wali, dan org2 sholeh agar dapat bertabarruk dengan mereka ....” (Al-Madkhol li Ibnil Hajj al-‘Abdari, 3/258)

  • Al-Hafizh adz-Dzahabi (wafat 748 H). Beliau adalah ulama yg menjadi rujukan org2Wahabi. Tapi ?? Ketika menyebutkan biografi Sholeh bin Yunus al-Wasithi, beliau berkata:

صالح بن يونس ابو شعيب الواسطى الزاهد كان من سادات الصوفية توفي سنة اثنتين و ثمانين و مائتين بالرملة و الدعاء عند قبره مستجاب

“Sholeh bin Yunus Abu Syu'aib al-Wasithi, seorang yg zuhud. Ia termasuk pemuka kaum shufi. Ia wafat pada 282 H di Romlah. Berdoa di dekat makamnya adalah mustajab.” (Tarikhul Islam lil Hafizh adz-Dzahabi, 5/198)

Di kitabnya yg lain ketika menyebutkan biografi Sholeh bin Ahmad al-Hamdzani:


صالح بن احمد ابن محمد الحافظ الكثير الصدق المعمر أبو الفضل التميمي الهمذانى ذكره شيرويه في تاريخه فقال: كان ركنا من اركان الحديث ثقة حافظا دينا لا يخاف في الله لومة لائم، وله مصنفات غزيرة، توفى في شعبان سنة اربع وثمانين وثلاث مائة. والدعاء عند قبره مستجاب


“Sholeh bin Ahmad bin Muhammad, al-Hafizh, org yg sangat jujur, Abu al-Fadhl at-Tamimi al-Hamdzani. Syirowaih menyebutkan dalam kitab Tarikhnya: “Ia adalah pondasi dari pondasi2 hadits, tsiqoh, hafizh, dan agamis. Ia tidak takut celaan orang lain dalam agama Allah. Ia mempunyai banyak sekali karya kitab. Ia wafat pada 384 H. Berdoa di makamnya adalah mustajab.” (Tadzkirotul Huffazh lil Hafizh adz-Dzahabi, 3/985)

Di kitabnya yg lain ketika menyebutkan biografi Ibnu La’al:


وابن لآل الإمام أبو بكر أحمد بن علي بن أحمد الهمذاني . قال شيرويه : كان ثقة أوحد زمانه مفتي همذان له مصنفات في علوم الحديث غير انه كان مشهورا بالفقه. عاش تسعين سنة والدعاء عند قبره مستجاب


“Al-Imam Ibnu La’al, Abu Bakar Ahmad bin Ali bin Ahmad al-Hamdzani. Syirowaih berkata: “Ia tsiqot, orang alim tunggal di masanya. Ia juga seorang Mufti negeri Hamdzan. Ia memiliki banyak karya dalam ilmu hadits. Ia juga masyhur dengan ilmu fiqih. Ia berumur 90 tahun. Berdoa di sisi makamnya adalah mustajab.” (Al-‘Ibar lil Hafizh adz-Dzahabi, hal. 175)

Di kitabnya yg lain ketika menyebutkan biografi Ma’ruf al-Karkhi:


وعن إبراهيم الحربي قال: قبر معروف الترياق المجرب
يريد إجابة دعاء المضطر عنده لان البقاع المباركة يستجاب عندها الدعاء، كما أن الدعاء في السحر مرجو، ودبر المكتوبات، وفي المساجد، بل دعاء المضطر مجاب في أي مكان اتفق، اللهم إني مضطر إلى العفو، فاعف عني


“Imam Ibrohim al-Harbi berkata: “Kuburan Ma’ruf al-Karkhi adalah obat yg mujarab”. Ini memaksudkan tekabulnya doa org2 yg berkeperluan di sisi kuburan tsb. Disebabkan sepotong tanah yang diberkahi, maka dikabulkan seluruh doa di atasnya. Doa juga mustajab pada saat sahur, di akhir sholat maktubaat (sholat 5 waktu), di masjid, dan bahkan doa org2 yg dalam keadaan darurat juga akan terkabul dimanapun berada.” (SiyarA’lam an-Nubala' lil Hafizh adz-Dzahabi, 9/24)

Secara umum mengenai ini, beliau berkata:


قلت : والدعاء مستجاب عند قبور الانبياء والاولياء و فى سائر البقاع لكن سبب الاجابة حضور الداعى و خشوعه وابتهاله و بلا ريب فى البقعة المباركة و فى المسجد و فى السحر و نحو ذلك يتحصل ذلك للداعى كثيرا و كل مضطر فدعاؤه مجاب

“Aku katakan: Berdoa di makam para nabi dan wali adalah mustajab, begitu pula tempat2 yg lain. Namun penyebab terkabulnya doa adalah ‘hadir’nya hati org yg berdoa dan kekhusyuannya. Tidak diragukan lagi, di tempat2 yg berkah, di masjid, saat sahur, dan sebagainya (juga terkabul). Hal itu jg akan banyak terkabul bagi org2 yg banyak berdoa. Dan setiap org yg dalam keadaan darurat, maka doanya juga akan terkabul.” (Siyar A’lam an-Nubala lil Hafizh adz-Dzahabi, 17/77)

  • Al-Imam al-Hafizh Tajuddin as-Subki (wafat 771 H). Ketika menyebutkan biografi 'Utsman bin Abdurrahman asy-Syahrozauri:


و قبره على الطريق في طرفها الغربي ظاهر يزار و يتبرك به قيل و الدعاء عند قبره مستجاب

“Makamnya ('Utsman bin Abdurrahman asy-Syahrozauri) berada di jalan sudut barat, begitu nampak, diziarahi, dan dicari berkahnya. Dan dikatakan bahwa berdoa di makam tsb adalah mustajab.” (Thobaqotus Syafi'iyyah al-Kubro li Tajiddin as-Subki, 6/68)

  • Imamul Qurro' (Imamnya para ahli qiro'ah), al-Imam al-Hafizh Ibnu al-Jazari (wafat 833 H). Beliau adalah pengarang kitab tajwid terkenal, Jazariyyah. Bukan hanya itu, beliau juga merupakan penghulunya para muhadditsin di zamannya. Ketika menyebutkan biografi dari Ibnul Mubarok, seorang ulama salaf terkenal, beliau katakan:
“Aku katakan: Ayah Ibnul Mubarok adalah seorang Turki, maula (pembantu) dr org kaya. Ibunya berkebangsaan Khowarizmiyyah. Ia lahir pada 118 H dan wafat pada bulan Romadlon tahun 181 H. Kuburnya ada di kota Haiti, terkenal diziarahi. Aku sudah menziarahinya dan bertabarruk dengannya.” (Ghoyatun Nihayah fi Thobaqotil Qurro’ li Ibnil Jazari, 1/399)

Ketika menjelaskan biografi al-Qosim bin Firoh, beliau berkata:


“Al-Qosim bin Firoh wafat pada 28 Jumadil Akhir tahun 590 H di Kairo. Ia dikuburkan di Qorofah antara Mesir dan Kairo, yaitu di sekitar makam al-Qodli al-Fadlil ‘Abdurrohim al-Baisani. Kuburnya masyhur dan menjadi tujuan ziarah. Aku sudah menziarahinya berkali2. Sebagian pengikut Syathibiyyah menunjukkan sesuatu padaku di makamnya. Dan ternyata aku melihat berkah doa di makam itu terkabul. Semoga Allah merahmati dan meridloinya.” (Ghoyatun Nihayah fi Thobaqotil Qurro’ lil Imam Ibnil Jazari, 2/22)

Ketika menyebutkan biografi dari Imam Syafi'i, beliau berkata:


“Imam Syafi’i wafat di Mesir tahun 204 H. Ia wafat di malam Jum’at setelah waktu Maghrib akhir pada bulan Rojab. Ia dimakamkan di hari Jum’at setelah Ashar. Kuburnya di Qorofah, Mesir, masyhur, dan berdoa di dekat makamnya adalah mustajab.” (Ghoyatun Nihayah fi Thobaqotil Qurro’ lil Imam Ibnil Jazari, 2/87)

  • Al-Hafizh Ibnu Qodli Syuhbah (wafat 851 H). Ketika menuturkan biografi dari Ibnu La’al, beliau berkata:
 
“Berdoa di dekat makam Ibnu La’al adalah mustajab. Ia wafat pada bulan Robi’ul Akhir tahun 398 H atau 399 H. Imam ar-Rof’i mengutip darinya sebuah qoul ...” (Thobaqotus Syafi’iyyah li Ibni Qodli Syuhbah, 1/138)
 
  • Amirul Mu’minin fil Hadits, al-Imam al-Hafizh Ibnu Hajar al-’Asqolani (wafat 852 H). Beliau berkata ketika menuturkan biografi Bakkar bin Qutaibah:


وَدُفِنَ بَكَّارُ بْنُ قُتَيْبَةَ بِطَرِيْقِ الْقَرَافَةِ، وَالدُّعَاءُ عِنْدَ قَبْرِهِ مُسْتَجَابٌ. وَمَاتَ يَوْمَ الْخَمِيْسِ لِخَمْسٍ بَقَيْنَ مِنْ ذِيْ الْحِجَّةِ سَنَةَ سَبْعِيْنَ وَمِائَتَيْنِ وَقَدْ قَارَبَ التِّسْعِيْنَ

“Bakkar bin Qutaibah dimakamkan di Jalan Qorofah. Berdoa di makamnya adalah mustajab. Ia wafat pada hari Kamis, di 5 hari tersisa dari bulan Dzul Hijjah tahun 270 H, usianya hampir 90 tahun.” (Rof’ul Ishri’ an Qudlotil Mishr lil Hafizh Ibni Hajar, 1/43)

  • Al-Imam al-Hafizh Badruddin al-’Aini (wafat 855 H). Ketika menerangkan hadits Bukhori nomor 1339, beliau berkata:


“Dan sudah masyhur bahwa makam Nabi Musa AS berada di Ariha dan terletak di kawasan tanah yg disucikan. Dikatakan bahwa itu adalah makamnya Nabi Musa yg di dekatnya terdapat gundukan tanah merah sebagaimana disebut dalam hadits dan thoriq. Berdoa di dekat makamnya adalah mustajab.” (‘Umdatul Qori syarah Shohih Bukhori lil Badriddin al-’Aini, 8/217)

  • Al-Hafizh as-Sakhowi (wafat 902 H), murid kesayangan Ibnu Hajar al-’Asqolani 

Makam Hamzah bin Abdul Muththolib:


·و جعل على قبره قبة فهو يزار ويتبرك به

“Makam Hamzah dibuatkan kubah di atasnya. Makamnya diziarahi dan dicari berkahnya.” (At-Tuhfatul Lathifah lil Hafizh as-Sakhowi, 1/205)

  • Al-Imam al-Khothib asy-Syarbini (wafat 977 H). Beliau beristikhoroh dan meminta petunjuk kepada Allah di sisi makam Imam Bukhori. Dan akhirnya Allah memberikannya petunjuk untuk mengarang sebuah kitab fiqih, yg ia namakan Mughnil Muhtaj ila Ma'ani Alfazh al-Minhaj. Hal ini ia ceritakan di muqoddimah kitab tsb. Silakan merujuknya.
  • Al-Imam Mulla 'Ali al-Qori (wafat 1014 H)


قبره (احمد بن حنبل) ظاهر ببغداد يزار و يتبرك به و كشف لما دفن بجنبه بعض الاشراف بعد موته بمائتين و ثلاثين سنة فوجد كفنه صحيحا لم يبل و جثته لم تتغير

“Makam Imam Ahmad bin Hanbal tampak nyata di Baghdad, diziarahi dan dicari berkahnya. Makam itu terbuka saat di sebelahnya dimakamkan sebagian kalangan org2 mulia setelah wafatnya Imam Ahmad selama 230 tahun. Kain kafannya ditemukan masih utuh, tidak rusak, dan jasadnya juga tidak berubah.” (Subhanallah !) (Mirqotul Mafatih lil Imam Mulla Ali al-Qori, 1/54)

  • Al-Imam asy-Syaukani (wafat 1250 H). Ketika sedang mensyarahi perkataan Imam Ibnu al-Jazari dalam kitab al-Hishn al-Hashin, asy-Syaukani berkata:


وجرب استجابة الدُّعَاء عِنْد قُبُور الصَّالِحين بِشُرُوط مَعْرُوفَة
(قَوْله وَعند قُبُور الْأَنْبِيَاء) أَقُول هَذَا جعله المُصَنّف رَحمَه الله دَاخِلا فِيمَا تقدم من التجريب الَّذِي ذكره وَوجه ذَلِك مزِيد الشّرف ونزول الْبركَة وَقد قدمنَا أَنَّهَا تسري بركَة الْمَكَان على الدَّاعِي كَمَا تسري بركَة الصَّالِحين الذَّاكِرِينَ الله سُبْحَانَهُ على من دخل فيهم مِمَّن لَيْسَ هُوَ مِنْهُم كَمَا يفِيدهُ قَوْله صلى الله عَلَيْهِ وَسلم هم الْقَوْم لَا يشقى بهم جليسهم (قَوْله وجرب استجابة الدُّعَاء عِنْد قُبُور الصَّالِحين) أَقُول وَجه هَذَا مَا ذَكرْنَاهُ هَهُنَا وَفِيمَا تقدم وَلَكِن ذَلِك بِشَرْط أَن لَا تنشأ عَن ذَلِك مفْسدَة وَهِي أَن يعْتَقد فِي ذَلِك الْمَيِّت مَا لَا يجوز اعْتِقَاده كَمَا يَقع لكثير من المعتقدين فِي الْقُبُور فَإِنَّهُم قد يبلغون الغلو بِأَهْلِهَا إِلَى مَا هُوَ شرك بِاللَّه عز وَجل فينادونهم مَعَ الله وَيطْلبُونَ مِنْهُم مَا لَا يطْلب إِلَّا من الله عز وَجل وَهَذَا مَعْلُوم من أَحْوَال كثير من العاكفين على الْقُبُور خُصُوصا الْعَامَّة الَّذين لَا يَفْطنُون لدقائق الشّرك وَقد جمعت فِي ذَلِك رِسَالَة مطوله سميتها الدّرّ النضيد فِي إخلاص التَّوْحِيد جَوَاب عَن سُؤال بعض الْأَعْلَام


Telah dibuktikan kemustajaban doa di kubur org2 sholeh dengan syarat2 yg diketahui. Perkataannya (Imam Ibnu al-Jazari): “dan juga doa mustajab di kubur para Nabi”. Aku (asy-Syaukani) katakan: “Sang mushonnif (Imam Ibnu al-Jazari) rohimahullah menjadikan masalah ini BERDASARKAN PEMBUKTIAN. Bentuknya adalah bertambahnya kemuliaan dan turunnya keberkahan. Sungguh telah kami terangkan bahwa berkah makam tsb berdampak pada org yg berdoa seperti dampak berkah org2 sholeh yg berdzikir kepada Allah Ta’ala kepada org yg tidak sama dengan mereka (maksudnya kepada org yg tdk berzdikir), seperti sabda Nabi: “mereka adalah kaum yg tidak akan celaka karena org lain”. Perkataannya: “Telah dibuktikan kemustajaban doa di makam org2 sholeh”. Aku katakan: “Hal tsb sudah disebutkan pada bahasan yg dahulu. Akan tetapi, hal tsb dilakukan harus dg syarat tidak akan timbul mafsadah (kerusakan) yaitu meyakini mayit dg hal2 yg tidak boleh diyakini, seperti yg terjadi pada banyak org yg meyakini kuburan (secara berlebihan). Mereka terkadang berlebihan terhadap hal yg mengarah pada kesyirikan. Mereka memanggil (berdoa) kepada penghuni kubur besama Allah, mereka meminta sesuatu yg tdk bisa diminta kecuali kpd Allah. Hal ini sudah diketahui dari banyak pelaku yg menetap di kuburan, khususnya org2 awam yg tidak mengerti akan lembutnya syirik. Aku sudah mengumpulkan masalah ini dalam risalah yg panjang yg aku namakan “ad-Darrun Nadlid fi Ikhlashit Tauhid” yg merupakan jawaban terhadap pertanyaan dr sebagian org2 alim.” (Tuhfatudz Dzakirin bi 'Uddatil Hishn al-Hashin lil Imam asy-Syaukani, 1/74)

  • Syaikh al-Mubarokfuri (wafat 2006 M). Beliau sering dijadikan rujukan oleh org2 Wahabi. Tapi beliau sendiri tidak menafikan adanya barokah di kubur org sholeh:


و فيه حكمة اخرى و هو اجتماعهم في مكان واحد حياة و موتا و بعثا و حشرا و يتبرك الناس بالزيارة الى مشاهدهم و يكون وسيلة الى زيارة جبل احد

“Dalam masalah ini (dipindahnya jenazah syuhada'), ada hikmah lain, yaitu berkumpulnya para syuhada' di satu tempat, baik ketika hidup, mati, dan dibangkitkan di padang mahsyar. Org2 bisa bertabarruk dengan menziarahi makamnya, dan ini juga dapat menjadi media ziarah ke gunung Uhud.” (Tuhfatul Ahwadzi Syarah Sunan at-Tirmidzi lil Mubarokfuri, 4/406)


Bagaimana ? Sudah jelas bukan, bahwa makam sholihin (Anbiya', 'Ulama, dan Auliya') merupakan tempat banyaknya barokah dan mustajabnya doa ??
Pertanyaan: apakah semua 'ulama di atas dicap juga sebagai para penyembah kubur ??? Buka hati mu !!!

Pertanyaan: Kalian tahu siapa Ibnu Taimiyyah ? Ya,, dia adalah ulama abad 7 H yg dijadikanrujukan utama oleh org2 Wahabi. Bagaimana pandangannya terhadap tabarruk di makam org2 sholeh ? Berikut faktanya: 
Dalam penjelasannya tentang praktek menjadikan kuburan sebagai masjid, ia berkata:


وَكَذَلِكَ مَا يُذْكَرُ مِنَ الْكَرَامَاتِ وَخَوَارِقِ الْعَادَاتِ الَّتِي تُوْجَدُ عِنْدَ قُبُوْرِ الْأَنْبِيَاءِ وَالصَّالِحِيْنَ مِثْلُ نُزُوْلِ الْأَنْوَارِ وَالْمَلآئِكَةِ عِنْدَهَا وَتَوَقِّي الشَّيَاطِيْنِ وَالْبَهَائِمِ لَهَا وَانْدِفَاعِ النَّارِ عَنْهَا وَعَمَّنْ جَاوَرَهَا وَشَفَاعَةِ بَعْضِهِمْ فِي جِيْرَانِهِ مِنَ الْمَوْتَى وَاسْتِحْبَابِ الْإِنْدِفَانِ عِنْدَ بَعْضِهِمْ وَحُصُوْلِ الْأُنْسِ وَالسَّكِيْنَةِ عِنْدَهَا وَنُزُوْلِ الْعَذَابِ بِمَنْ اِسْتَهَانَ بِهَا فَجِنْسُ هَذَا حَقٌّ لَيْسَ مِمَّا نَحْنُ فِيْهِ

“Demikian pula kejadian yang disebutkan, tentang karomah dan hal-hal luar biasa yang terjadi di kuburan para nabi dan orang-orang sholih seperti turunnya cahaya dan malaikat di kuburan tersebut, syetan dan binatang menjauhi tempat itu, api terhalang untuk membakar kuburan dan orang yang berada di dekatnya, sebagian dari para nabi dan orang-orang sholih memberi syafa'at kepada orang-orang mati yang menjadi tetangga kubur mereka, kesunnahan mengubur jenazah di dekat kuburan mereka, memperoleh kedamaian dan ketenteraman saat berada di dekatnya, dan turunnya adzab atas orang yang menghina kuburan tersebut, maka hal-hal ini adalah BENAR ADANYA DAN TIDAK TERMASUK DALAM TOPIK BAHASAN KAMI tentang diharamkannya menjadikan kuburan sebagai masjid.” (Iqtidho’us Shirothil Mustaqim li Ibni Taimiyyah, 1/374)

Pertanyaan: apakah Ibnu Taimiyyah juga akan kalian cap sebagai penyembah kubur ???????????????????????????


Dengan adanya semua fakta ini, menjadi jelas bahwa makam sholihin (Anbiya', 'Ulama, dan Auliya') merupakan tempat yg istimewa, tempat banyaknya barokah, dan tempat mustajabnya doa.

Alhamdulillah . . .
Note ini ditulis dg tujuan supaya ummat Islam menjadi sadar dan mengerti bahwa tabarruk (ngalap berkah) dan berdoa di makam org2 sholeh adalah perkara yg disyari'atkan. Maka sudah benar lah apa yg dilakukan kaum Muslimin di Indonesia yg gemar melakukan ziarah ke makam Wali Songo. Ayo ziarah ... !!

Semoga setelah ini tdk ada lagi org2 yg menuduh syirik secara serampangan kepada para penggemar ziarah makam wali dan org sholeh... Aamiin.
Semoga Allah senantiasa memberikan petunjuk kebenaran kepada qta semua, Aamiin.
Semoga ummat Islam semakin bersatu padu,, Aamiin . . .